“NASIHAT UBI HAYA”
Probolinggo,
Juni 2011…
Lega
rasanya setelah tiga tahun bergelut dengan seragam putih biru, akhirnya lulus
juga. Dan kini aku telah dewasa. Entahlah, saat ini kepercayaan diriku
menggelegak seakan beban berat yang selama ini aku bopong seorang diri telah
aku buang ke suatu tempat nun jauh di sana, mengira takkan pernah kembali. Aku
pejamkan kedua mata ini lalu sesekali mengerjapkannya, membiarkan wajah
lonjongku diterpa angin kering yang sering aku jumpai di madrasah yang sebentar
lagi menjadi “mantan madrasahku”.
Alhamdulillah..
NEM 35.15 ini cukup memuaskan hati. Pohon mangga besar usia dua puluh tahunan
di seberang gedung bak ikut menyambut kelulusanku. Dahan dan rantingnya bergoyang-goyang
mengiringi hampir seluruh anak yang lulus hari ini. Anak-anak dan orang tua
berseliweran di lantai bawah dan halaman sekolah. Sikap mereka menyambut
kelulusan sungguh kontras sekali. Ada yang nangis-nangis, jongkok, ketawa,
bahkan masih sempat saja ada orang tua memarahi anaknya karena gagal mencapai
nilai yang diinginkan mereka. Tapi, aku juga bersedih karena sebentar lagi
kebersamaan dengan para sahabat akan pupus. Ah, masih sekota kok. Pikirku dalam hati.
“Cong, Bapak bangga dengan nilaimu,” ujar Bapak. “Tapi SPP-mu belum bapak lunasin, sabar ya?”
Aku
memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ke madrasah ini saja Bapak
pinjam motor tetangga. Tapi dukungan keluarga sangat luar biasa. Dukungan
inilah yang aku ingat-ingat ketika semangatku mulai redup.
Iseng
saja aku baca banner di ruang aula
yang bertuliskan Selamat dan sukses
kepada siswa-siswi MTsN Kota Probolinggo atas kelulusan yang telah diraih.
Padahal aku hampir lupa berapa kali pernah membacanya tadi pagi. Kami beranjak
dari tempat kami berdiri di pagar teras lantai dua. Bapak masih saja tersenyum
lebar sepanjang perjalanan menuju bawah. Entah apa yang ada di benaknya, aku
tak tahu.
Di
bawah, aku bertemu Bu Eva. Guru Biologi sekaligus wali kelas kesayanganku. Entah kejadian apa yang membuatku
begitu dekat dengan guru ini dari dulu. Padahal aku terbilang biasa-biasa saja
di kelas, pintar Biologi saja tidak. Tanpa perintah, aku seret langkahku menuju
beliau. Di tangannya saputangan bordiran terlihat basah. Jelas beliau telah
menangis hebat.
“Nak,” begitu beliau
memanggil. “Semoga
sukses, buat guru-gurumu bangga pernah memiliki kalian. Kalau sudah sukses,
tirulah ilmu padi semakin berisi semakin merunduk. Tetap rendah hati ya Nak,” suaranya terisak.
Butir-butir air mata yang sebelumnya menggenang tak kuasa menjatuhkan dirinya,
mengalir melintasi pipinya yang lembut. Saputangan itu kembali beliau usap ke
kelopak matanya yang indah.
“Iya
Bu, kami berjanji akan
berusaha memaksimalkan usaha untuk meraih cita-cita. Doa dan restu selalu kami
harapkan dari Bu Eva dan guru-guru untuk mengiringi langkah kami menuju
kesuksesan,”
aku mencium tangan
beliau dengan penuh khidmat. Ah, guru ini seperti ibu keduaku saja. Kemudian
aku pamit pulang. Siang itu tepat pukul 11 WIB pada hari Sabtu, aku telah
menuntaskan kewajibanku sebagai siswa Madrasah Tsanawiyah. Sejenak aku biarkan
mataku menikmati suasana madrasah yang tak lama lagi aku tinggalkan ini.
Aku
tersenyum sendiri melihat musholla Miftahul Jannah di pojok barat. Seakan
memutar Video Player, ingatanku
berkelebat mengingat setiap kenangan yang ku lalui dengan para sahabat di
tempat damai itu. Di depannya dua pohon kelapa sawit yang menjulang tinggi
bagai prajurit istana yang setia melindungi penduduk yang mendiami istana. Aku
juga ingat bagaimana kala hujan turun kami bermain perosot-perosot-an di teras musholla itu. Sambil menikmati gorengan
yang kami beli siangnya di kantin Bu
Met. Ruang kelas yang berdiri kokoh jasa semen Holcim seakan kaku ditinggal para penghuninya yang telah tiga tahun
bersama. Perasaanku campur aduk antara sedih dan senang. Aku pulang.
***
Seminggu kemudian
adalah hari yang aku nanti-nanti. Benar, hari pendaftaran sekaligus tes masuk
SMA telah tiba. Aku menimbang-nimbang, kemana sekolah yang aku tuju sebentar
lagi. Aku pasang sepatuku lalu aku hentakkan ke bumi seperti kuda-kuda mau
perang. Seragam oke, parfum juga oke, lalu apalagi? Batinku bicara. Aku turut
masukkan ijazah dan fotocopynya yang
telah terlegalisasi
ke dalam tas. Aku lega akhirnya bapak bisa melunas SPP yang belum sempat terbayar
tempo hari. Jadi aku bisa
memiliki ijazahku dengan hak penuh.
Berhubung
hari ini ada tes, jadi aku pelajari lagi materi Matematika, Bahasa Indonesia,
Bahasa Asing (Inggris) dan IPA semalam. Walaupun aku hampir lupa bagaimana
rumus perubahan kalor dan tak ingat lagi pemuaian, tapi aku paksa saja belajar.
Mungkin inilah yang namanya “SKS”. Sistem
Kebut Semalam. Sementara sistem
inilah yang aku anggap paling-mujarab dan ampuh menjawab soal. Paling tidak aku
sudah dicekoki materi ini selama tiga tahun. Jadi aku hanya perlu membaca ulang
materi-materi yang pernah aku pelajari dulu.
“Cong,bapakmu sudah nunggu di luar. Buruan
gih, takut telat.” Ini suara Ibuku yang menurutku mengalun
seperti lagu penenteram jiwa.
“Dari tadi bapakmu
nanya, kamu mau sekolah ke mana. Bapak juga minta cari sekolah jangan yang
mahal-mahal,”
ujar Ibu.
“Nanti Ibu pasti
mengerti bagaimana sikon sekolah yang Misbah pilih.”
Duh,
hatiku ciut mendengar ungkapan Ibu
yang terakhir itu. Jangan-jangan impianku ke SMAN 4 gagal total. Aku kalut
sendiri di kamarku yang kelihatannya semakin sempit ini. Lampu gantung kamarku
kaku, dadaku berdegup.
Aku
seret langkah kakiku ke halaman rumah dengan dada penuh sesak kemudian
menghampiri Bapak. “Aku ikut tes di Smapa saja,
Pak.” Smapa adalah
panggilan akrab untuk sekolah impian ini. “Dan
tenang Pak, sekolah ini jauh
dari kalimat mahal.” Kataku mencoba meyakinkan dengan menekan setiap ejaan yang
keluar dari kata “Mahal”.
“Cari
sekolah jangan mahal-mahal lah Nak,
yang penting ya sekolah. Anak teman
bapak sekolah di swasta saja bisa jadi ajudan bupati.” Terang bapak panjang
lebar. Aku pun tahu ini ungkapan Bapak secara halus agar aku mendaftar di
sekolah murah. Yang jelas, saat ini aku masih kesal entah kepada siapa. Dadaku
yang sesak belum sepenuhnya pulih. Setelah mendengar ungkapan kedua orang tua
yang tak sesuai harapan anaknya.
Aku
turun di gerbang Smapa, lalu aku raih tangan Bapak meminta doa restu semoga tes hari
ini lancar. Kemudian Bapak beringsut pulang. Kini berdirilah sebuah bangunan di
hadapanku, sekolah yang aku impi-impikan bersama sahabatku dulu ketika masih
masa putih biru. Beranekaragam tumbuhan yang rimbun menyambut setiap orang yang
datang ke sekolah ini. Hatiku berdesir menyaksikan para calon siswa dari
berbagai kalangan lalu lalang di hadapanku. Ternyata ramai sekali. Jelas
sekolah ini menjadi sasaran utama para ‘Pencasek’. Pencari Sekolah.
Mereka beragam. Ada yang
berambut botak dan pirang. Ada yang berbehel gigi. Berkacamata dengan gagang
putih. Ada pula warga keturunan Tionghoa.
Sebangsa orang gemuk tak luput, setengah laki-laki dan setengah perempuan
tak ketinggalan. Tapi hanya satu topik pembicaraan mereka, NEM yang telah
diraih masing-masing. Sungguh kentara sekali kalau anak-anak lulusan sekolah
elit sedang pamer karena mendapat nilai yang hampir sempurna.
Aku
baru tahu ternyata seperti inilah Smapa. Di dalam ada sebuah kolam dengan dua
ekor patung lumba-lumba besar bersanding. Air mancur terjun dari kedua mulut
patung mungil ini dan jatuh ke kolam berwarna hijau lumut yang menimbulkan
cipratan pada orang-orang yang berada sekitar kolam. Di tengah halaman yang
sempit namun nyaman, ada sebuah taman kecil yang bermuara dari samping kolam
sampai ujung utara. Persis seperti taman yang banyak aku jumpai sepanjang jalan
raya. Jelasnya seperti batas lajur kanan dan kiri.
Loket
pendaftaran tes tulis ada di depan lab Biologi. Jadi teringat Bu Eva. Batinku.
Aku grogi. Berkali-kali aku longgarkan sedikit ikat pinggang yang sebenarnya
tak apa-apa. Beruntung tumbuhan yang rimbun hampir di setiap sudut berhasil
membuatku lebih rileks. Segera kudaftarkan diriku setelah berhasil menerobos
antrean yang mengular.
***
Yeah,
nilai tesku cukup memuaskan setelah kemarin bertempur dengan 100 soal
beranekaragam. Score 64. Aku yakin sekali Smapa pasti mencari
siswa yang sepertiku. Aku layak di sekolah ini. Persis di depan lab Biologi aku
duduk membaca berulang-ulang hasil tesku. Kertas kecil berukuran lebih besar
dari KTP ini membuatku senang bukan kepalang. Hari ini mengingatkanku pada hari
kelulusan. Ramai. Ekspresi muka yang variatif dan masih banyak lagi. Semua
orang sedang antusias.
“Nilaimu lumayan bagus dek,” kata seorang penjaga loket
berambut licin kepadaku seraya menggumamkan namaku di mulutnya.
“Ya, Alhamdulillah pak,” jawabku.
Sambil merapikan berkas-berkas penting dia berkata,
“rencana mau daftar kemana dek?”
“Saya belum tau.
Kalo dari hati saya sendiri ya pengen sekolah di sini, Pak.”
“Kalo sudah mantap, buat apa ragu? Nilaimu itu sudah
tahap merdeka lho.. sekolah manapun yang kamu pilih, yakin.. tembus.. pasti
itu..”
Sambil mengaminkan aku bilang, “hehe.. trimakasih Pak,
masih menunggu keputusan orang tua...”
Hatiku mencelos. Aku ingat ucapan Ibu kemarin. Keputusan orang
tua yang tidak sesuai harapan anaknya. Pikiranku kembali sibuk tentang sekolah
kemana aku ini. Padahal hatiku sudah jodoh walaupun hanya dua hari pulang pergi
ke sekolah ini.
Sejenak aku
mencoba menata akalku. Lebih baik aku huznudzan
saja. Aku akan bilang baik-baik kepada Bapak bahwa aku sudah jelas akan ketrima jika daftar di sekolah impianku ini. Aku akan berusaha
meyakinkan kedua orang tuaku, kemudian akan aku pasrahkan semua kepada Allah atas
apa yang akan menjadi takdirku nanti. Iya, pasrah.
Di depan gerbang Bapak sudah menunggu. Motor pinjaman
lagi. Selama perjalanan aku memilih dan memilah kata mana yang tepat aku ajukan
nanti pada kedua orang tuaku, agar mereka yakin dan setuju atas sekolah yang
aku pilih.
Begitu Bapak mendengar penjelasanku yang panjang lebar
mengenai sekolah pilihanku ini, raut mukanya tampak kebingungan. Aku duduk. Aku
sudah tahu apa yang mungkin terjadi. Setelah beberapa saat diam, Bapak
menanggapi pidatoku.
“Nak, kamu mengerti sendiri kan Bapakmu ini tidak kerja. Sudahlah Nak, kita cari sekolah yang
lebih murah saja.”
Ibu yang sedari tadi berdiri kemudian duduk di sebelahku.
Aneh sekali rasanya duduk di- ruangan ini dalam keheningan. Detik jarum jam terdengar
menjadi lebih keras dari biasanya.
“Sekolah dimana saja tanpa ada semangat dan kemauan,
percuma Nak.”
Sejenak hening. Kemudian Bapak melanjutkan, “Cong, besok Bapak bawa
kamu ke SMAN 3. Itu mantan sekolah Cak
Lam. Di sana tidak kalah bagus sama sekolah lain.”
Benar-benar detik yang menentukan. Aku terjebak di tengah
rapat keluarga yang menentukan nasibku. SMAN 3 Probolinggo. Mungkin panggilan
akrabnya Smaga. Sekolah apa ini? Aku sama sekali tak tahu dimana letak sekolah
ini. Mungkinkah plosok, terpencil,
aku tak tahu. Otak tak logisku berpikir bahwa sekolah ini pasti jelek dan
buangan. Tapi otak logisku berkata, sekolah ini sama saja dan tak ada bedanya.
Sama-sama sekolah menengah.
Tapi aku benar-benar tidak terima seandainya permintaanku
atas sekolah pilihanku ditolak oleh Bapak. Tak adakah sedikit rasa iba di hati
Bapak kepadaku. Batinku perang. Dan benar saja bahwa inilah nasibku.
“Besok Bapak antar, Cong.
Tempatnya di Wonoasih. Semangat terus, cetak prestasi dan buatlah kami bangga,”
terang Bapak mantap. Inilah takdirku yang tak bisa aku tolak. Smapa yang
sebelumnya menari-nari ria di atas kepalaku sekarang telah sirna. Pergi tanpa
perintah mengusir karena orang tuaku sendiri yang mengusirnya.
Malamnya, aku
susah memicingkan mata walau rasanya mata sudah perih. Sempat terlelap lalu
terjaga lagi. Begitu terus sampai menjelang Subuh. Pikiranku melayang-layang
tak tentu. Bagaimana kondisi calon sekolahku nanti. Aku takut tak bisa
mengembangkan prestasi. Barulah setelah Subuh, hatiku berangsur tenang dan
akhirnya aku bisa tertidur pulas walau hanya 2 jam.
Aku sedang berjalan sepanjang jalan berbatu di tengah
panas hari yang tak terlalu terik namun menghauskan. Kulihat banyak orang
berseragam putih abu-abu dengan badge Smapa. Selama beberapa detik
aku tak menyangka dengan apa yang kulihat. Ada pusaran angin di segala penjuru
yang membuat pohon-pohon besar bergoyang mengerikan. Daun-daun beterbangan.
“bencana alam.. bencana alam..” teriakan yang memekakkan telinga itu menghantam
dadaku. Berkali-kali aku berteriak minta tolong namun sia-sia. Aku butuh
jawaban dari teriakanku, jawaban untuk persoalanku sendiri...
“Bangun, Nak.” Ibu mengguncang bahuku. Tubuhnya bau
cucian. Bau ibu-ibu sejati.
Aku terjaga dengan kondisi masih mengantuk hebat. Satu
hal yang pasti, semalam aku Insomnia-yang tak diharpakan-sampai jelang Subuh.
Pagi ini mendung. Hari ini aku akan memenuhi permintaan kedua orang tuaku walau
terpaksa. Pasti dan tidak akan berubah. Dan benar saja di luar sedang turun
hujan. Hujan yang aneh di bulan Juni. Aku teringat mimpiku tadi Subuh yang
akupun sendiri tak mengerti apa maksudnya.
Nenek seringkali bilang kalau mimpi yang jelek itu
sebenarnya punya arti baik dengan kondisi kita saat ini. Begitu juga
sebaliknya. Kalau mimpinya keenakan, pasti keesokan harinya ada saja hal yang
kurang bejo nantinya. Tapi aku sedikit
tidak percaya dengan teori yang sudah Parokial ini. Sepertinya sudah primitiv dan ketinggalan zaman.
Setelah
rampung dengan urusan sarapan, mandi dan sebagainya, aku pamit kepada Ibu dan
mencium tangannya yang mulai keriput. Memohon doa restu semoga semua lancar.
Aku
sampai di depan gerbang Smaga disertai derak kerikil yang terdengar ketika
motor pinjaman Bapak melewati jalan kasar berbatu di sekitar gerbang. Bapak
juga turut mendampingiku. Aku ingin sekali menyalahkan keadaan. Sekolah ini
gersang, kotor dan aku malas memikirkan sekolah ini terlalu jauh. Halamannya
tidak sebersih Smapa. Tidak ada lumba-lumba di tengah kolamnya.
Tanaman-tanamannya renggang bahkan ada ranting yang tumbang. Sangat becek
apalagi habis hujan.
Mulutku tak hentinya membuang napas kekesalan yang
dilebih-lebihkan. Semoga ada titik terang di sekolah ini, bukan hanya setitik
tapi ribuan. Dan harus, dan itu perlu. Sekarang aku hanya perlu menyerahkan
berkas-berkas nilai tesku dan mengisi formulir di loket pendaftaran. Jam
dinding di sebuah ruangan seperti ruang guru menunjukkan jam 8 pagi. Bapak
tidak bicara sepatah pun.
Aku sedikit berbesar hati ketika aku serahkan piagam
penghargaan tingkat provinsiku kepada guru yang kuketahui namanya Bu Amanah
ini. Aku melihat beliau geleng-geleng dan tersenyum sambil membawa masuk
piagamku. Loket itu dijaga oleh dua orang. Laki-laki paruh baya bertubuh besar
berdada bidang dengan rambut yang beruban. Umurnya sekitar lima puluh tahunan.
Di dadanya tertera nama Basoeki Widodo. Suaranya berat dan menggema. Satu lagi
seorang wanita berumur kira-kira tak lebih empat puluh tahun, bertubuh pendek
dengan kerudung merah hati yang bermanik-manik di tepinya. Di sampingnya ada
sebuah buku tebal berjudul:“International
Biology Olimpyad dan Solusinya”. Pertama kali aku melihatnya, beliau
terkesan judes. Tapi belakangan aku tahu bahwa guru ini rajin penuh wibawa dan
murah senyum. Kami akrab memanggil beliau Bu Suci.
Setelah sampai di rumah, aku masih belum percaya dengan
keputusan ini. Berkali-kali aku mengorek setiap kemungkinan yang mungkin
terjadi. Bagaimana gurunya, kelasnya, pikiranku kacau sampai tiba hari
pertamaku di Smaga. Masa Orientasi Siswa yang berlangsung menyenangkan dan aku
masuk di kelas 10C. Dua bulan-bahkan lima bulan-pertama, aku belum betah sama
sekali di sekolah ini.
Pernah suatu saat waktu pelajaran Kimia, aku ditegur oleh
guru Kimia yang terkenal disiplin ini. Sungguh tak dapat kupercaya bahwa
keberadaanku yang masih seumur jagung di Smaga telah berurusan dengan guru yang
paling disiplin. Kejadiannya seperti ini:
“Assalamu’alaikum...” salam guru itu dengan suara yang
agak dimanis-maniskan dan diikuti oleh koor jawaban salam serempak oleh seluruh
penghuni kelas. Sepatunya berbunyi tok
tok sepanjang
perjalanannya yang pongah menuju meja guru. Benar saja kelas menjadi sunyi atas
kedatangan guru ini. Dia mulai mencetak besar-besar namanya di papan tulis
putih. “EKO ANDIYANI SIHDEKAEKSI”. Teman-temanku mulai menggumamkan namanya.
“Eko Andiyani Sihdekaeksi,” ulangnya. “Saya biasa
dipanggil Bu Yeni. Nama saya rumit namun itulah pemberian orang tua saya.
Andiyani, Andi bapak saya dan Yani ibu saya. Bisakah anda tebak anak
keberapakah Bu Yeni?” semua kalimat itu diucapkannya dengan sangat cepat dan
bibirnya menjadi tipis sekali. Kemudian seluruh kelas bersahutan menjawab “satu
bu...” dan ironis sekali denganku yang menjawab “sepuluh bu...”. Aku kaget. Rasanya seperti ada benda sebesar
batubata yang menghantam perutku.
“Benar sekali.. anak-anak, Bu yeni adalah.. anak
pertama,” manis sekali yang diucapkannya.
“Sepertinya
ada yang bilang sepuluh..” dia pura-pura mencari ke seluruh kelas. Kemudian
seraya menunjukku dengan spidol merahnya dia melanjutkan, “kalau boleh tahu
kenapa mas..?”
“Misbah
Husolli,” sambungku. Aku merasakan bahwa tiga puluh dua pasang mata sedang
melihat ke arahku. Aku menyeka keringat yang mulai mengucur di dahiku dengan
punggung tanganku.
“Iya.. kenapa
Mas Misbah bilang sepuluh?”
“Eh.. saya
kira dari.. nama Sihdekaeksi itu.. mengandung angka sepuluh dari.. kata Deka
bu..” jawabku gugup. Posisi dudukku menjadi tidak senyaman tadi.
Kemudian dia
tertawa seperti anak kecil seraya berkata, “kok nggak masuk akal sekali, Misbah di sini ranking berapa?”
“Tiga bu,”
jawabku tegas dan mantap balas memandangnya. Sekilas ada nada sombong yang
menjalar keluar waktu aku mengucapkannya. Tapi kemudian rasa gugup kembali
memenuhi tenggorokanku.
“Tiga?”
sindirnya. Ada rasa tak percaya yang tersirat di wajahnya. “Begini ya, Bu yeni
kira pikiranmu ini, masih primitiv
sekali..” sambil tersenyum manis kepadaku kemudian dia melanjutkan
bincang-bincangnya dengan penghuni kelas yang sungguh membosankan.
Aku dibilang primitiv oleh guru yang angkuh itu.
Bibirnya menjadi super tipis tiap kali menegur anak didiknya. Apalagi ditambah
dengan lipstik merahnya yang berwarna cabe.
Semenjak
kejadian itu, aku menaruh dendam padanya. Setiap kali pelajarannya berlangsung,
aku selalu berusaha bersikap sok smart
dan rajin yang dilebih-lebihkan agar kelihatannya aku bukan orang primitiv. Sebetulnya aku memang bukan
orang primitiv.
Dan akhirnya, aku berhasil membuat guru itu percaya bahwa anggapannya tentang
diriku adalah salah besar.
Sekarang mau
tak mau, aku resmi menjadi siswa Smaga. Capat sekali rasanya melihat perubahan
celanaku menjadi abu-abu, secepat Roller
Coaster. “Tiga tahun itu cepat sekali kok,ibuku
bilang sih begitu,” kata teman
sebangkuku di lain kesempatan. Aku seringkali iri hati dengan sahabatku yang
bersekolah di Smapa. Bagaimana ekspresinya yang berapi-api ketika menceritakan
kegiatan di sekolahnya yang menurut mereka seru. Rahangku sering berkedut-kedut.
Aku curiga jangan-jangan mereka bohong padaku.
Tepat pada
pukul tujuh pagi dengan matahari yang setinggi penggalah, pelajaran pertama pun
dimulai. Matematika, pelajaran favoritku tentu. Rasanya baru kemarin seperti
halnya saat ini, aku duduk terdiam dalam kelas bersih yang nyaman. Waktu
celanaku masih biru. Mendengarkan celoteh manfaat dan segudang ilmu dari
guru-guruku yang berjasa. Ah, mataku berair tiap kali mengingat setiap
kenangan-kenangan indah itu. Bu Eva apa kabar ya?
Aku
benar-benar yakin bahwa inilah takdir yang dipilih Tuhan kepadaku. Menurutku
ini bukanlah kesulitan, ini berkah. Karena jika satu pintu tertutup, maka
sejatinya tersedia berjuta pintu yang akan terbuka untukku. Dan tentu saja, aku
harus selalu berusaha keras mengingat kata-kata pepatah ini.
Tanganku
otomatis menggenggam balpoin, siap menulis. Namun walaupun telah mengalami
segala kejadian yang aku alami, walaupun aku tahu ini bukan pilihanku, entah
sebulan lagi, setahun lagi, atau sekian tahun lagi, aku merasa semangatku
bangkit memikirkan bahwa masih ada satu tugas dalam tiga tahun yang
menyenangkan penuh kedamaian yang bisa dinikmati bersama Smaga.
SELESAI
UNSUR INTRINSIK
1. Tema
Menduga-duga sesuatu hal yang kurang beruntung di masa
depan belum tentu benar adanya, karena masa depan seseorang tidak pernah ada
yang tahu.
2. Amanat
·
Janganlah mudah
menduga hal buruk karena dugaan itu belum tentu terjadi.
·
Pikirkanlah
matang-matang terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu itu sial.
3. Sudut pandang : orang pertama, pelaku utama
4. Penokohan
A.
Tokoh utama : Aku
Tokoh sampingan :
Bapak, Ibu, Bu Eva, Bu yeni
B.
Tokoh Antagonis : Aku
Tokoh Protagonis : Bapak, Bu eva, Bu yeni
Tokoh Tritagonis : Ibu
C.
Karakter tokoh
·
Aku : keras kepala, pemikir dan selalu
berprasangka buruk
·
Bapak : ramah, penyabar dan murah senyum
·
Ibu : sabar dan penyayang
·
Bu Eva : penyayang dan mudah terharu
·
Bu Yeni : tegas dan displin
5. Latar (tempat, waktu, suasana)
·
Di sekolah, siang
hari, senang
·
Di rumah, siang
hari, bingung dan kuatir
·
Di kamar, pagi
hari, kuatir
6. Alur
·
Pengumuman
kelulusan saat MTsN yang membuat Bapak bangga karena nilai yang memuaskan
·
Terlintas berbagai
kenangan bersama sahabat ketika Aku menatap sejenak musholla di ujung barat
·
Aku grogi ketika
akan melaksanakan tes di Smapa
·
Aku terjebak dalam
rapat keluarga yang menetukan nasibku
·
Aku insomnia dan
mimpi buruk yang tidak jelas
·
Keterpaksaan Aku
saat mendaftar Smaga
·
Teguran dari guru
Kimia
·
Aku menerima
kenyataan atas takdir yang menentukan aku bersekolah di Smaga