Pages

Translate

Senin, 21 April 2014

CERPEN KARANGANKU "NASIHAT UBI HAYA"


“NASIHAT UBI HAYA”





background-5.jpg
















Probolinggo, Juni 2011…
            Lega rasanya setelah tiga tahun bergelut dengan seragam putih biru, akhirnya lulus juga. Dan kini aku telah dewasa. Entahlah, saat ini kepercayaan diriku menggelegak seakan beban berat yang selama ini aku bopong seorang diri telah aku buang ke suatu tempat nun jauh di sana, mengira takkan pernah kembali. Aku pejamkan kedua mata ini lalu sesekali mengerjapkannya, membiarkan wajah lonjongku diterpa angin kering yang sering aku jumpai di madrasah yang sebentar lagi menjadi “mantan madrasahku”.
            Alhamdulillah.. NEM 35.15 ini cukup memuaskan hati. Pohon mangga besar usia dua puluh tahunan di seberang gedung bak ikut menyambut kelulusanku. Dahan dan rantingnya bergoyang-goyang mengiringi hampir seluruh anak yang lulus hari ini. Anak-anak dan orang tua berseliweran di lantai bawah dan halaman sekolah. Sikap mereka menyambut kelulusan sungguh kontras sekali. Ada yang nangis-nangis, jongkok, ketawa, bahkan masih sempat saja ada orang tua memarahi anaknya karena gagal mencapai nilai yang diinginkan mereka. Tapi, aku juga bersedih karena sebentar lagi kebersamaan dengan para sahabat akan pupus. Ah, masih sekota kok. Pikirku dalam hati.
            Cong, Bapak bangga dengan nilaimu,ujar Bapak. “Tapi SPP-mu belum bapak lunasin, sabar ya?”
            Aku memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ke madrasah ini saja Bapak pinjam motor tetangga. Tapi dukungan keluarga sangat luar biasa. Dukungan inilah yang aku ingat-ingat ketika semangatku mulai redup.
            Iseng saja aku baca banner di ruang aula yang bertuliskan Selamat dan sukses kepada siswa-siswi MTsN Kota Probolinggo atas kelulusan yang telah diraih. Padahal aku hampir lupa berapa kali pernah membacanya tadi pagi. Kami beranjak dari tempat kami berdiri di pagar teras lantai dua. Bapak masih saja tersenyum lebar sepanjang perjalanan menuju bawah. Entah apa yang ada di benaknya, aku tak tahu.
            Di bawah, aku bertemu Bu Eva. Guru Biologi sekaligus wali kelas kesayanganku. Entah kejadian apa yang membuatku begitu dekat dengan guru ini dari dulu. Padahal aku terbilang biasa-biasa saja di kelas, pintar Biologi saja tidak. Tanpa perintah, aku seret langkahku menuju beliau. Di tangannya saputangan bordiran terlihat basah. Jelas beliau telah menangis hebat.
           
“Nak,” begitu beliau memanggil. “Semoga sukses, buat guru-gurumu bangga pernah memiliki kalian. Kalau sudah sukses, tirulah ilmu padi semakin berisi semakin merunduk. Tetap rendah hati ya Nak,suaranya terisak. Butir-butir air mata yang sebelumnya menggenang tak kuasa menjatuhkan dirinya, mengalir melintasi pipinya yang lembut. Saputangan itu kembali beliau usap ke kelopak matanya yang indah.
            “Iya Bu, kami berjanji akan berusaha memaksimalkan usaha untuk meraih cita-cita. Doa dan restu selalu kami harapkan dari Bu Eva dan guru-guru untuk mengiringi langkah kami menuju kesuksesan,aku mencium tangan beliau dengan penuh khidmat. Ah, guru ini seperti ibu keduaku saja. Kemudian aku pamit pulang. Siang itu tepat pukul 11 WIB pada hari Sabtu, aku telah menuntaskan kewajibanku sebagai siswa Madrasah Tsanawiyah. Sejenak aku biarkan mataku menikmati suasana madrasah yang tak lama lagi aku tinggalkan ini.
            Aku tersenyum sendiri melihat musholla Miftahul Jannah di pojok barat. Seakan memutar Video Player, ingatanku berkelebat mengingat setiap kenangan yang ku lalui dengan para sahabat di tempat damai itu. Di depannya dua pohon kelapa sawit yang menjulang tinggi bagai prajurit istana yang setia melindungi penduduk yang mendiami istana. Aku juga ingat bagaimana kala hujan turun kami bermain perosot-perosot-an di teras musholla itu. Sambil menikmati gorengan yang  kami beli siangnya di kantin Bu Met. Ruang kelas yang berdiri kokoh jasa semen Holcim seakan kaku ditinggal para penghuninya yang telah tiga tahun bersama. Perasaanku campur aduk antara sedih dan senang. Aku pulang.
***
Seminggu kemudian adalah hari yang aku nanti-nanti. Benar, hari pendaftaran sekaligus tes masuk SMA telah tiba. Aku menimbang-nimbang, kemana sekolah yang aku tuju sebentar lagi. Aku pasang sepatuku lalu aku hentakkan ke bumi seperti kuda-kuda mau perang. Seragam oke, parfum juga oke, lalu apalagi? Batinku bicara. Aku turut masukkan ijazah dan fotocopynya yang telah terlegalisasi ke dalam tas. Aku lega akhirnya bapak bisa melunas SPP yang belum sempat terbayar tempo hari. Jadi aku bisa memiliki ijazahku dengan hak penuh.
            Berhubung hari ini ada tes, jadi aku pelajari lagi materi Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Asing (Inggris) dan IPA semalam. Walaupun aku hampir lupa bagaimana rumus perubahan kalor dan tak ingat lagi pemuaian, tapi aku paksa saja belajar. Mungkin inilah yang namanya “SKS”. Sistem Kebut Semalam. Sementara sistem inilah yang aku anggap paling-mujarab dan ampuh menjawab soal. Paling tidak aku sudah dicekoki materi ini selama tiga tahun. Jadi aku hanya perlu membaca ulang materi-materi yang pernah aku pelajari dulu.
            Cong,bapakmu sudah nunggu di luar. Buruan gih, takut telat.” Ini suara Ibuku yang menurutku mengalun seperti lagu penenteram jiwa.
“Dari tadi bapakmu nanya, kamu mau sekolah ke mana. Bapak juga minta cari sekolah jangan yang mahal-mahal,ujar Ibu.
“Nanti Ibu pasti mengerti bagaimana sikon sekolah yang Misbah pilih.”
            Duh, hatiku ciut mendengar ungkapan Ibu yang terakhir itu. Jangan-jangan impianku ke SMAN 4 gagal total. Aku kalut sendiri di kamarku yang kelihatannya semakin sempit ini. Lampu gantung kamarku kaku, dadaku berdegup.
            Aku seret langkah kakiku ke halaman rumah dengan dada penuh sesak kemudian menghampiri Bapak. “Aku ikut tes di Smapa saja, Pak.” Smapa adalah panggilan akrab untuk sekolah impian ini. “Dan tenang Pak, sekolah ini jauh dari kalimat mahal.” Kataku mencoba meyakinkan dengan menekan setiap ejaan yang keluar dari kata “Mahal”.
            “Cari sekolah jangan mahal-mahal lah Nak, yang penting ya sekolah. Anak teman bapak sekolah di swasta saja bisa jadi ajudan bupati.” Terang bapak panjang lebar. Aku pun tahu ini ungkapan Bapak secara halus agar aku mendaftar di sekolah murah. Yang jelas, saat ini aku masih kesal entah kepada siapa. Dadaku yang sesak belum sepenuhnya pulih. Setelah mendengar ungkapan kedua orang tua yang tak sesuai harapan anaknya.
            Aku turun di gerbang Smapa, lalu aku raih tangan Bapak meminta doa restu semoga tes hari ini lancar. Kemudian Bapak beringsut pulang. Kini berdirilah sebuah bangunan di hadapanku, sekolah yang aku impi-impikan bersama sahabatku dulu ketika masih masa putih biru. Beranekaragam tumbuhan yang rimbun menyambut setiap orang yang datang ke sekolah ini. Hatiku berdesir menyaksikan para calon siswa dari berbagai kalangan lalu lalang di hadapanku. Ternyata ramai sekali. Jelas sekolah ini menjadi sasaran utama para ‘Pencasek’. Pencari Sekolah.
            Mereka beragam. Ada yang berambut botak dan pirang. Ada yang berbehel gigi. Berkacamata dengan gagang putih. Ada pula warga keturunan Tionghoa. Sebangsa orang gemuk tak luput, setengah laki-laki dan setengah perempuan tak ketinggalan. Tapi hanya satu topik pembicaraan mereka, NEM yang telah diraih masing-masing. Sungguh kentara sekali kalau anak-anak lulusan sekolah elit sedang pamer karena mendapat nilai yang hampir sempurna.
            Aku baru tahu ternyata seperti inilah Smapa. Di dalam ada sebuah kolam dengan dua ekor patung lumba-lumba besar bersanding. Air mancur terjun dari kedua mulut patung mungil ini dan jatuh ke kolam berwarna hijau lumut yang menimbulkan cipratan pada orang-orang yang berada sekitar kolam. Di tengah halaman yang sempit namun nyaman, ada sebuah taman kecil yang bermuara dari samping kolam sampai ujung utara. Persis seperti taman yang banyak aku jumpai sepanjang jalan raya. Jelasnya seperti batas lajur kanan dan kiri.
            Loket pendaftaran tes tulis ada di depan lab Biologi. Jadi teringat Bu Eva. Batinku. Aku grogi. Berkali-kali aku longgarkan sedikit ikat pinggang yang sebenarnya tak apa-apa. Beruntung tumbuhan yang rimbun hampir di setiap sudut berhasil membuatku lebih rileks. Segera kudaftarkan diriku setelah berhasil menerobos antrean yang mengular.
***
            Yeah, nilai tesku cukup memuaskan setelah kemarin bertempur dengan 100 soal beranekaragam. Score 64. Aku yakin sekali Smapa pasti mencari siswa yang sepertiku. Aku layak di sekolah ini. Persis di depan lab Biologi aku duduk membaca berulang-ulang hasil tesku. Kertas kecil berukuran lebih besar dari KTP ini membuatku senang bukan kepalang. Hari ini mengingatkanku pada hari kelulusan. Ramai. Ekspresi muka yang variatif dan masih banyak lagi. Semua orang sedang antusias.
            “Nilaimu lumayan bagus dek,” kata seorang penjaga loket berambut licin kepadaku seraya menggumamkan namaku di mulutnya.
            “Ya, Alhamdulillah pak,” jawabku.
            Sambil merapikan berkas-berkas penting dia berkata, “rencana mau daftar kemana dek?”
            “Saya belum tau. Kalo dari hati saya sendiri ya pengen sekolah di sini, Pak.”
            “Kalo sudah mantap, buat apa ragu? Nilaimu itu sudah tahap merdeka lho.. sekolah manapun yang kamu pilih, yakin.. tembus.. pasti itu..”
            Sambil mengaminkan aku bilang, “hehe.. trimakasih Pak, masih menunggu keputusan orang tua...”
            Hatiku mencelos. Aku ingat ucapan Ibu kemarin. Keputusan orang tua yang tidak sesuai harapan anaknya. Pikiranku kembali sibuk tentang sekolah kemana aku ini. Padahal hatiku sudah jodoh walaupun hanya dua hari pulang pergi ke sekolah ini.
           
Sejenak aku mencoba menata akalku. Lebih baik aku huznudzan saja. Aku akan bilang baik-baik kepada Bapak bahwa aku sudah jelas akan ketrima jika daftar di sekolah impianku ini. Aku akan berusaha meyakinkan kedua orang tuaku, kemudian akan aku pasrahkan semua kepada Allah atas apa yang akan menjadi takdirku nanti. Iya, pasrah.
            Di depan gerbang Bapak sudah menunggu. Motor pinjaman lagi. Selama perjalanan aku memilih dan memilah kata mana yang tepat aku ajukan nanti pada kedua orang tuaku, agar mereka yakin dan setuju atas sekolah yang aku pilih.
            Begitu Bapak mendengar penjelasanku yang panjang lebar mengenai sekolah pilihanku ini, raut mukanya tampak kebingungan. Aku duduk. Aku sudah tahu apa yang mungkin terjadi. Setelah beberapa saat diam, Bapak menanggapi pidatoku.
            “Nak, kamu mengerti sendiri kan Bapakmu ini tidak kerja. Sudahlah Nak, kita cari sekolah yang lebih murah saja.”
            Ibu yang sedari tadi berdiri kemudian duduk di sebelahku. Aneh sekali rasanya duduk di- ruangan ini dalam keheningan. Detik jarum jam terdengar menjadi lebih keras dari biasanya.
            “Sekolah dimana saja tanpa ada semangat dan kemauan, percuma Nak.”
            Sejenak hening. Kemudian  Bapak melanjutkan, “Cong, besok Bapak bawa kamu ke SMAN 3. Itu mantan sekolah Cak Lam. Di sana tidak kalah bagus sama sekolah lain.”
            Benar-benar detik yang menentukan. Aku terjebak di tengah rapat keluarga yang menentukan nasibku. SMAN 3 Probolinggo. Mungkin panggilan akrabnya Smaga. Sekolah apa ini? Aku sama sekali tak tahu dimana letak sekolah ini. Mungkinkah plosok, terpencil, aku tak tahu. Otak tak logisku berpikir bahwa sekolah ini pasti jelek dan buangan. Tapi otak logisku berkata, sekolah ini sama saja dan tak ada bedanya. Sama-sama sekolah menengah.
            Tapi aku benar-benar tidak terima seandainya permintaanku atas sekolah pilihanku ditolak oleh Bapak. Tak adakah sedikit rasa iba di hati Bapak kepadaku. Batinku perang. Dan benar saja bahwa inilah nasibku.
            “Besok Bapak antar, Cong. Tempatnya di Wonoasih. Semangat terus, cetak prestasi dan buatlah kami bangga,” terang Bapak mantap. Inilah takdirku yang tak bisa aku tolak. Smapa yang sebelumnya menari-nari ria di atas kepalaku sekarang telah sirna. Pergi tanpa perintah mengusir karena orang tuaku sendiri yang mengusirnya.
           
Malamnya, aku susah memicingkan mata walau rasanya mata sudah perih. Sempat terlelap lalu terjaga lagi. Begitu terus sampai menjelang Subuh. Pikiranku melayang-layang tak tentu. Bagaimana kondisi calon sekolahku nanti. Aku takut tak bisa mengembangkan prestasi. Barulah setelah Subuh, hatiku berangsur tenang dan akhirnya aku bisa tertidur pulas walau hanya 2 jam.
            Aku sedang berjalan sepanjang jalan berbatu di tengah panas hari yang tak terlalu terik namun menghauskan. Kulihat banyak orang berseragam putih abu-abu dengan badge Smapa. Selama beberapa detik aku tak menyangka dengan apa yang kulihat. Ada pusaran angin di segala penjuru yang membuat pohon-pohon besar bergoyang mengerikan. Daun-daun beterbangan. “bencana alam.. bencana alam..” teriakan yang memekakkan telinga itu menghantam dadaku. Berkali-kali aku berteriak minta tolong namun sia-sia. Aku butuh jawaban dari teriakanku, jawaban untuk persoalanku sendiri...
            “Bangun, Nak.” Ibu mengguncang bahuku. Tubuhnya bau cucian. Bau ibu-ibu sejati.
            Aku terjaga dengan kondisi masih mengantuk hebat. Satu hal yang pasti, semalam aku Insomnia-yang tak diharpakan-sampai jelang Subuh. Pagi ini mendung. Hari ini aku akan memenuhi permintaan kedua orang tuaku walau terpaksa. Pasti dan tidak akan berubah. Dan benar saja di luar sedang turun hujan. Hujan yang aneh di bulan Juni. Aku teringat mimpiku tadi Subuh yang akupun sendiri tak mengerti apa maksudnya.
            Nenek seringkali bilang kalau mimpi yang jelek itu sebenarnya punya arti baik dengan kondisi kita saat ini. Begitu juga sebaliknya. Kalau mimpinya keenakan, pasti keesokan harinya ada saja hal yang kurang bejo nantinya. Tapi aku sedikit tidak percaya dengan teori yang sudah Parokial ini. Sepertinya sudah primitiv dan ketinggalan zaman.
            Setelah rampung dengan urusan sarapan, mandi dan sebagainya, aku pamit kepada Ibu dan mencium tangannya yang mulai keriput. Memohon doa restu semoga semua lancar.
            Aku sampai di depan gerbang Smaga disertai derak kerikil yang terdengar ketika motor pinjaman Bapak melewati jalan kasar berbatu di sekitar gerbang. Bapak juga turut mendampingiku. Aku ingin sekali menyalahkan keadaan. Sekolah ini gersang, kotor dan aku malas memikirkan sekolah ini terlalu jauh. Halamannya tidak sebersih Smapa. Tidak ada lumba-lumba di tengah kolamnya. Tanaman-tanamannya renggang bahkan ada ranting yang tumbang. Sangat becek apalagi habis hujan.
            Mulutku tak hentinya membuang napas kekesalan yang dilebih-lebihkan. Semoga ada titik terang di sekolah ini, bukan hanya setitik tapi ribuan. Dan harus, dan itu perlu. Sekarang aku hanya perlu menyerahkan berkas-berkas nilai tesku dan mengisi formulir di loket pendaftaran. Jam dinding di sebuah ruangan seperti ruang guru menunjukkan jam 8 pagi. Bapak tidak bicara sepatah pun.
            Aku sedikit berbesar hati ketika aku serahkan piagam penghargaan tingkat provinsiku kepada guru yang kuketahui namanya Bu Amanah ini. Aku melihat beliau geleng-geleng dan tersenyum sambil membawa masuk piagamku. Loket itu dijaga oleh dua orang. Laki-laki paruh baya bertubuh besar berdada bidang dengan rambut yang beruban. Umurnya sekitar lima puluh tahunan. Di dadanya tertera nama Basoeki Widodo. Suaranya berat dan menggema. Satu lagi seorang wanita berumur kira-kira tak lebih empat puluh tahun, bertubuh pendek dengan kerudung merah hati yang bermanik-manik di tepinya. Di sampingnya ada sebuah buku tebal berjudul:“International Biology Olimpyad dan Solusinya”. Pertama kali aku melihatnya, beliau terkesan judes. Tapi belakangan aku tahu bahwa guru ini rajin penuh wibawa dan murah senyum. Kami akrab memanggil beliau Bu Suci.
            Setelah sampai di rumah, aku masih belum percaya dengan keputusan ini. Berkali-kali aku mengorek setiap kemungkinan yang mungkin terjadi. Bagaimana gurunya, kelasnya, pikiranku kacau sampai tiba hari pertamaku di Smaga. Masa Orientasi Siswa yang berlangsung menyenangkan dan aku masuk di kelas 10C. Dua bulan-bahkan lima bulan-pertama, aku belum betah sama sekali di sekolah ini.
            Pernah suatu saat waktu pelajaran Kimia, aku ditegur oleh guru Kimia yang terkenal disiplin ini. Sungguh tak dapat kupercaya bahwa keberadaanku yang masih seumur jagung di Smaga telah berurusan dengan guru yang paling disiplin. Kejadiannya seperti ini:
            “Assalamu’alaikum...” salam guru itu dengan suara yang agak dimanis-maniskan dan diikuti oleh koor jawaban salam serempak oleh seluruh penghuni kelas. Sepatunya berbunyi tok tok sepanjang perjalanannya yang pongah menuju meja guru. Benar saja kelas menjadi sunyi atas kedatangan guru ini. Dia mulai mencetak besar-besar namanya di papan tulis putih. “EKO ANDIYANI SIHDEKAEKSI”. Teman-temanku mulai menggumamkan namanya.
            “Eko Andiyani Sihdekaeksi,” ulangnya. “Saya biasa dipanggil Bu Yeni. Nama saya rumit namun itulah pemberian orang tua saya. Andiyani, Andi bapak saya dan Yani ibu saya. Bisakah anda tebak anak keberapakah Bu Yeni?” semua kalimat itu diucapkannya dengan sangat cepat dan bibirnya menjadi tipis sekali. Kemudian seluruh kelas bersahutan menjawab “satu bu...” dan ironis sekali denganku yang menjawab “sepuluh bu...”. Aku kaget. Rasanya seperti ada benda sebesar batubata yang menghantam perutku.
            “Benar sekali.. anak-anak, Bu yeni adalah.. anak pertama,” manis sekali yang diucapkannya.
“Sepertinya ada yang bilang sepuluh..” dia pura-pura mencari ke seluruh kelas. Kemudian seraya menunjukku dengan spidol merahnya dia melanjutkan, “kalau boleh tahu kenapa mas..?”
“Misbah Husolli,” sambungku. Aku merasakan bahwa tiga puluh dua pasang mata sedang melihat ke arahku. Aku menyeka keringat yang mulai mengucur di dahiku dengan punggung tanganku.
“Iya.. kenapa Mas Misbah bilang sepuluh?”
“Eh.. saya kira dari.. nama Sihdekaeksi itu.. mengandung angka sepuluh dari.. kata Deka bu..” jawabku gugup. Posisi dudukku menjadi tidak senyaman tadi.
Kemudian dia tertawa seperti anak kecil seraya berkata, “kok nggak masuk akal sekali, Misbah di sini ranking berapa?”
“Tiga bu,” jawabku tegas dan mantap balas memandangnya. Sekilas ada nada sombong yang menjalar keluar waktu aku mengucapkannya. Tapi kemudian rasa gugup kembali memenuhi tenggorokanku.
“Tiga?” sindirnya. Ada rasa tak percaya yang tersirat di wajahnya. “Begini ya, Bu yeni kira pikiranmu ini, masih primitiv sekali..” sambil tersenyum manis kepadaku kemudian dia melanjutkan bincang-bincangnya dengan penghuni kelas yang sungguh membosankan.
Aku dibilang primitiv oleh guru yang angkuh itu. Bibirnya menjadi super tipis tiap kali menegur anak didiknya. Apalagi ditambah dengan lipstik merahnya yang berwarna cabe.
Semenjak kejadian itu, aku menaruh dendam padanya. Setiap kali pelajarannya berlangsung, aku selalu berusaha bersikap sok smart dan rajin yang dilebih-lebihkan agar kelihatannya aku bukan orang primitiv. Sebetulnya aku memang bukan orang primitiv. Dan akhirnya, aku berhasil membuat guru itu percaya bahwa anggapannya tentang diriku adalah salah besar.
Sekarang mau tak mau, aku resmi menjadi siswa Smaga. Capat sekali rasanya melihat perubahan celanaku menjadi abu-abu, secepat Roller Coaster. “Tiga tahun itu cepat sekali kok,ibuku bilang sih begitu,” kata teman sebangkuku di lain kesempatan. Aku seringkali iri hati dengan sahabatku yang bersekolah di Smapa. Bagaimana ekspresinya yang berapi-api ketika menceritakan kegiatan di sekolahnya yang menurut mereka seru. Rahangku sering berkedut-kedut. Aku curiga jangan-jangan mereka bohong padaku.
Tepat pada pukul tujuh pagi dengan matahari yang setinggi penggalah, pelajaran pertama pun dimulai. Matematika, pelajaran favoritku tentu. Rasanya baru kemarin seperti halnya saat ini, aku duduk terdiam dalam kelas bersih yang nyaman. Waktu celanaku masih biru. Mendengarkan celoteh manfaat dan segudang ilmu dari guru-guruku yang berjasa. Ah, mataku berair tiap kali mengingat setiap kenangan-kenangan indah itu. Bu Eva apa kabar ya?
Aku benar-benar yakin bahwa inilah takdir yang dipilih Tuhan kepadaku. Menurutku ini bukanlah kesulitan, ini berkah. Karena jika satu pintu tertutup, maka sejatinya tersedia berjuta pintu yang akan terbuka untukku. Dan tentu saja, aku harus selalu berusaha keras mengingat kata-kata pepatah ini.
Tanganku otomatis menggenggam balpoin, siap menulis. Namun walaupun telah mengalami segala kejadian yang aku alami, walaupun aku tahu ini bukan pilihanku, entah sebulan lagi, setahun lagi, atau sekian tahun lagi, aku merasa semangatku bangkit memikirkan bahwa masih ada satu tugas dalam tiga tahun yang menyenangkan penuh kedamaian yang bisa dinikmati bersama Smaga.


SELESAI










UNSUR INTRINSIK
1.      Tema
Menduga-duga sesuatu hal yang kurang beruntung di masa depan belum tentu benar adanya, karena masa depan seseorang tidak pernah ada yang tahu.
2.      Amanat
·         Janganlah mudah menduga hal buruk karena dugaan itu belum tentu terjadi.
·         Pikirkanlah matang-matang terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu itu sial.
3.      Sudut pandang : orang pertama, pelaku utama
4.      Penokohan
A.    Tokoh utama         : Aku
Tokoh sampingan : Bapak, Ibu, Bu Eva, Bu yeni
B.     Tokoh Antagonis : Aku
Tokoh Protagonis : Bapak, Bu eva, Bu yeni
Tokoh Tritagonis   : Ibu
C.     Karakter tokoh
·         Aku           : keras kepala, pemikir dan selalu berprasangka buruk
·         Bapak        : ramah, penyabar dan murah senyum
·         Ibu             : sabar dan penyayang
·         Bu Eva      : penyayang dan mudah terharu
·         Bu Yeni     : tegas dan displin
5.      Latar (tempat, waktu, suasana)
·         Di sekolah, siang hari, senang
·         Di rumah, siang hari, bingung dan kuatir
·         Di kamar, pagi hari, kuatir
6.      Alur
·         Pengumuman kelulusan saat MTsN yang membuat Bapak bangga karena nilai yang memuaskan
·         Terlintas berbagai kenangan bersama sahabat ketika Aku menatap sejenak musholla di ujung barat
·         Aku grogi ketika akan melaksanakan tes di Smapa
·         Aku terjebak dalam rapat keluarga yang menetukan nasibku
·         Aku insomnia dan mimpi buruk yang tidak jelas
·         Keterpaksaan Aku saat mendaftar Smaga
·         Teguran dari guru Kimia
·         Aku menerima kenyataan atas takdir yang menentukan aku bersekolah di Smaga
 

Blogger news

Blogroll

About